Selasa, 25 Maret 2014

Artikel

Rekontruksi Gerakan Mahasiswa  di  Era Reformasi

Membincang mengenai mahasiswa, pasti tidak akan lepas dengan gerakan mahasiswa. Gerakan bukan hanya beberapa mahasiswa yang berkumpul dalam suatu komunitas saja, akan tetapi bagaimana membuat sebuah gerakan yang dinamis. Ketika melihat sejarah pergerakan mahasiswa di Indonesia ini tidak sedikit peran mahasiswa untuk negeri ini. Lahirnya gerakan pemuda dan mahasiswa Budi Utomo turut berperan dalam kemerdekaan Indonesia. Contoh kecil ketika masa pemerintahan Soeharto, mahasiswa Indonesia bersatu dengan membuat gerakan untuk menurunkan rezim Soeharto pada masa orde baru. Kemudian timbul pertanyaan, apa sesungguhnya peran mahasiswa? Mahasiswa merupakan kelompok minoritas dalam masyarakat bangsa, bahkan para aktivis juga merupakan minoritas dalam populasi mahasiswa. Tetapi mahasiswa melihat jauh ke depan, memikirkan yang tidak dipikirkan oleh masyarakat pada umumnya dan menginginkan perubahan.
Berbanding terbalik jika  melihat gerakan mahasiswa pada masa orde baru dengan era reformasi saat ini. Gerakan mahasiswa saat ini seolah-olah redup, salah satu penyababnya yaitu tidak sedikit mahasiswa yang menganggap bahwa gerakan-gerakan seperti aksi demonstrasi sudah tidak berarti lagi. Iklim demokrasi juga menjadikan setiap masyarakat bebas berpendapat dan membela diri sendiri. Padahal sebelumnya mahasiswa mempunyai peran yang besar untuk membela masyarakat yang tertindas. Selain faktor tersebut, ada faktor yang lebih dominan yang memengahruhi pergerakan mahasiswa, yaitu arus globalisasi yang semakin gencar. Pesatnya perkembangan dunia informasi dan teknologi yang berasal dari luar hakikatnya memberi keuntungan bagi kita, tapi ternyata juga membawa efek yang buruk. Tidak sedikit dari masyarakat kita telah terserang globalisasi yaitu dengan cara hidup mewah dan mementingkan kesenangannya. Ini membuat masyarakat semakin apatis terhadap masalah-masalah sosial. Sekarang musuh bagi gerakan mahasiswa yang mempunyai nilai kebaikan telah jelas yaitu gaya hidup hedonis dan pragmatis.
Pergerakan mahasiswa saat ini tengah mengalami keadaan yang krisis, eksistensinya semakin tidak jelas. Sudah saatnya gerakan mahasiswa memutar haluan dan mencari arahan baru yang sesuai dengan tantangan zaman. Dapat kita lihat pada saat aksi demonstrasi, hanya segelintir mahasiswa yang mau turun aksi. Sedangkan mahasiswa yang lain beralasan ingin berkonsentrasi dengan kuliahnya, namun ternyata hasilnya tidak lebih baik dari para aktivis yang mau turun aksi.
Sebagai tokoh intelektual, gerakan mahasiswa bukan hanya lewat aksi demonstrasi dan pernyataan sikap saja. Namun banyak cara yang dapat kita lakukan. Misalnya dalam bidang ilmiah dapat melaksanakan riset dan studi untuk membantu menyelesaikan persoalan masyarakat dalam bidang ekonomi, sosial, hukum, dan lainnya. Mahasiswa mempunyai tanggung jawab sosial dan intelektual untuk mempersiapkan dirinya menjadi pemimpin, sekaligus menjadikan kampus sebagai wadah untuk berdialektika intelektual dalam memecahkan maslah dalam masyarakat.
Gerakan mahasiswa merupakan wujud kecerdasan masyarakat. Untuk itu masyarakat harus terus memberikan kontribusi pemikiran dan tindakan dalam membantu masyarakat, jika mahasiswa kehilangan intelektualitasnya dan keberaniannya dalam membela dan mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia, maka nasib bangsa tidak akan jelas. Gerakan mahasiswa harus terus mengambil peranannya sebagai pelopor perubahan, pengawal pembangunan dan mempersiapkan diri sebagai pemimpin. Dengan demikian mahasiswa dengan gerakannya akan tetap menjadi tokoh intelektual dan agen perubahan dalam masyarakat yang bertanggung jawab dan penuh keberanian.

Rekontruksi sebuah pergerakan mahasiswa tidak dapat ditunda-tunda lagi jika ingin mengawal perubahan menjadi lebih baik. Dengan demikian gerakan mahasiswa akan siap untuk menjawab tantangan globalisasi dunia, sampai tujuan mulia itu terwujud di bumi pertiwi ini.

Kamis, 13 Maret 2014

Senin, 10 Maret 2014

Makalah

REKONTRUKSI   PENDIDIKAN  KARAKTER   DENGAN  IMPLEMENTASI NYATA
Disusun Guna Memenuhi Ujian Semester Gasal
Mata kuliah: Karya Tulis Ilmiyah
Dosen Pengampu: Syamsul Ma’arif,M.Ag

iain-walisongo1

Disusun oleh:

AGITA SUNNI HIDAYAH (133111137)


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013

I.                   LATAR BELAKANG
Membicarakan karakter merupakan hal sangat penting dan mendasar. Karakter adalah mustika hidup yang membedakan manusia dengan binatang. Manusia tanpa karakter adalah manusia yang sudah “membinatang”. Orang-orang yang berkarakter kuat dan baik secara individual maupun sosial adalah mereka yang memiliki akhlak, moral, dan budi pekerti yang baik. Mengingat begitu urgennya karakter, maka instisusi pendidikan memiliki tanggug jawab untuk menanamkannya melalui proses pembelajaran.
Penguatan pendidikan sebagai wahana internalisasi moral dalam konteks sekarang ini sangat relevan untuk mengatasi krisis moral yang sedang terjadi di negara kita. Diakui atau tidak saat ini terjadi krisis nyata dan mengkhawatirkan dalam masyarakat dengan melibatkan milik kita yang paling berharga yaitu anak-anak. Krisis itu diantaranya meningkatnya pergaulan seks bebas, maraknya angka kekerasan anak-anak dan remaja, kejahatan terhadap teman, pencurian remaja, kebiasaan menyontek hingga perusakan milik orang lain.
Kondisi krisis dan dekadensi moral ini menandakan bahwa seluruh pengetahuan agama dan moral yang didapatkannya di bangku sekolah ternyata tidak berdampak terhadap perilaku manusia Indonesia. Bahkan yang terlihat adalah begitu banyaknya masyarakat Indonesia yang tidak konsisten, lain yang dibicarakannya, lain pula tindakannya.
Diakui, persoalan karakter atau moral emmang tidak sepenuhnya terabaikan oleh lembaga pendidikan. Akan tetapi dengan fakta-fakta seputar kemerosotan karakter pada sekitar kita menunjukkan bahwa ada kegagalan pada institusi pendidikan dalam hal menumbuhkan manusia Indonesia yang berkarakter atau berakhlak mulia. Pendidikan agama dan moral belum dapat mmembentuk manusia yang berkarakter.
Sudah saatnya pendidikan menjadi wahana internalisasi moral yang realistis, bukan hanya sekedar untuk pengetahuan dan nilai saja tetapi lebih kepada implementasi moral dalam kehidupan sehari-hari.
II.                ISI DAN SOLUSI
A.    Konsep dasar pendidikan karakter
Pendidikan karakter telah menjadi polemik di berbagai negara. Pandangan pro dan kontra mewarnai diskursus pendidikan karakter sejak lama. Sejatinya pendidikan karakter merupakan bagian esensial yang menjadi tugas sekolah, tetapi selama ini kurang perhatian. Akibat minimnya perhatian terhadap pendidikan karakter dalam ranah persekolahan, sebagaimana dikemukakan Lickona, telah menyebabkan berkembangnya berbagai penyakit sosial di tengah masyarakat, sebaiknya, sekolah tidak hanya berkewajiban meningkatkan pencapaian akademis, tetapi juga bertanggung jawab dalam membentuk karakter yang baik merupakan dua misi yang harus mendapat perhatian sekolah.
Karakter dimaknai sebagai cara berpikir dan berperilaku yang khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang dapat membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusannya. Karakter dapat dianggap sebagai nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, adat istiadat, dan estetika. Karakter adalah perilaku yang tampak dalam kehidupan sehari-hari baik dalam bersikap maupun dalam bertindak.[1]
Pendidikan karakter diartikan sebagai the deliberate us of all dimensions of school life to foster optimal development ( usaha kita secara sengaja dari seluruh dimensi kehidupan sekolah untuk membantu pengembangan karakter dengan optimal). Hal ini berarti bahwa untuk mendukung perkembangan karakter peserta didik harus melibatkan seluruh komponen di sekolah baik dari aspek isi kurikulum ( the content of the curiculum), proses pembelajaran ( the procces of instruction), kualitas hubungan ( the quality of relationships), penanganan mata pelajaran ( the handling of discipline), pelaksanaan aktivitas ko-kurikuler, serta etos seluruh lingkungan sekolah.[2]
Dalam grand desain pendidikan karakter, pendidikan karakter merupakan proses pembudayaan dan pemberdayaan nilai-nilai luhur dalam lingkungan pendidikan (sekolah), lingkungan keluarga, dan lingkungan masyarakat. Nilai-nilai luhur ini berasal dari teori-teori pendidikan, psikologi pendidikan, nilai-nilai sosial budaya, ajaran agama, Pancasila dan UUD 1945, dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, serta pengalaman terbaik dan praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembudayaan dan pemberdayaan nilai-nilai luhur ini juga perlu didukung oleh komitmen dan kebijakan pemangku kepentingan serta pihak-pihak terkait lainnya termasuk dukungan sarana prasarana yeng diperlukan. [3]
            Pendidikan karakter mempunyai tiga fungsi utama:
1.      Fungsi pembentukan dan pengembangan potensi. Pendidikan karakter berfungsi membentuk dan mengembangkan potensi peserta didik agar berpikiran baik, berhati baik, dan berperilaku baik sesuai dengan falsafah Pancasila.
2.      Fungsi perbaikan dan penguatan. Pendidikan karakter berfungsi untuk memperbaiki dan menguatkan peran keluarga, satuan pendidikan, masyarakat, dan pemerintah untuk ikut berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam pengembangan potensi warga negara dan pembangunan bangsa yang maju, mandiri dan sejahtera.
3.      Fungsi penyaring. Pendidikan karakter berfungsi memilah budaya bangsa sendiri dan menyaring budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya karakter bangsa yang bermartabat.
Ketiga fungsi ini dilakukan melalui pengukuhan Pancasila sebagai falsafah dan ideologi negara, pengukuhan nilai dan norma kontitusional UUD 45, penguatan komitmen kebangsaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), penguatan nilai-nilai keberagaman sesuai dengan konsepsi Bhineka Tunggal Ika, dan penguatan keunggulan dan daya saing bangsa untuk keberlanjutan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia dalam konteks global.
Arah dan tujuan pendidikan nasional kita, seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945, adalah peningkatan iman dan taqwa serta pembinaan akhlak mulia para peserta didik dalam hal ini adalah seluruh warga negara yang mengikuti proses pendidikan di Indonesia. Karena itu, pendidikan yang membangun nilai-nilai moral atau karakter di kalangan peserta didik harus selalu mendapatkan perhatian. Pendidikan di tingkat dasar (SD dan SMP) merupakan wadah yang sangat penting untuk mempersiapkan sejak dini generasi penerus yang nantinya akan menjadi pemimpin bangsa kita di masa mendatang.
Undang-undang Nomor 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangkta mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agarmenjadi manusi yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[4]
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun, dan berinteraksi dengan masyarakat.
Fungsi dan tujuan pendidikan nasional Indonesia sesungguhnya berpijak pada landasan ideologis Pancasila sebagai falsafah bangsa Indonesia, yang menempatkan sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama, yang menunjukkan bahwa sila ketuhanan ini harus melandasi dan menjiwai seluruh sila-sila lainnya.
Dalam perspektif islam, dasar dan tujuan pendidikan nasional diatas, secara umum dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan adalah pembentukan kepribadian individu yang sempurna(kaffah). Pribadi individu yang demikian merupakan pribadi yang menggambarkan terwujudnya keseluruhan esensi manusia secara kodrati, yaitu sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk bermoral, dan makhluk yang ber Tuhan.
Deskripsi tujuan pendidikan nasional dalam perspektif Islam di atas selaras dengan visi Kemendiknas 2005 pada Rencana Strategi Kementri an Pendidikan Nasional 2010-2014  yaitu menghasilkan Insan Indonesia Cerdas dan Kompetitif (insan kamil/insan paripurna). Yang dimaksud insanIndonesia cerdas adalah insan yang cerdas komprehensif, yaitu cerdas spiritual, cerdas emosional, cerdas sosial, cerdas intelektual, dan cerdas kinestetis.[5]
Dari deskripsi fungsi dan tujuan pendidikan nasional pada Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 serta Rencana Kementrian Pendidikan Nasional tahun 2010-2014  di atas maka jelaslah bahwa yang menjadi core value (nilai inti) dari pendidikan nasional adalah perwujudan manusia yang beriman dan bertaqwa. Konsep iman dan taqwa dalam islam dapat dipandang dari sudut toelogis-keimanan dikenal dengan konsep tauhid yang sifatnya doktriner, yaitu kepercayaan tunggal terhadap keesaan Allah SWT.
Konsep iman dan taqwa dalam islam, iman merupakan mempercayai wujud dan wahdaniyat Allah, sedangkan taqwa adalah takut dan patuh kepada Allah. Hal tersebut memperjelas bahwa pentingnya pendidikan dalan konteks keislaman dan moralitas adalah terbinanya hubungan vertikal secara manusiawi dan sosial. Maka sebuah konsep pendidikan yang dilandasi keimanan dan ketaqwaan bukan hanya menghasilkan output yang memiliki tanggung jawab sosial (pribadi, masyarakat, bangsa) namun juga memiliji tanggung jawab moral kepada Tuhan.
B.     Realita pendidikan di Indonesia
Globalisasi telah menjadi pendorong utama pergeseran pola interaksi antara guru-murid. Dalam konteks sikap/perilaku murid kini merefrensikan perilakunya dengan tuntutan etika dari luar. Sikap dan perilaku bergeser ke arah yang lebih pragmatis. Murid tidak hanya menerima nilai dari pendidikan yang dilakukan guru, melainkan juga dari berbagai media yang mereka akses.
Guru mengharapkan murid bersikap hormat dalam konteksnya sebagai pihak yang harus “digugu” dan “ditiru”. Tapi di sisi lain murid mengadopsi  nilai-nilai yang lebih mencerminkan ternd komunikasi masa kini, tanpa peduli itu sebagai sikap hormat atau tidak.[6]
Pendidikanlah yang sesungguhnya paling besar mwmberikan kontribusi pada situasi ini. Dalam konteks pendidikan formal di sekolah, bisa jadi salah satu penyebabnya karena pendidikan di Indonesia lebih menitikberatkan pada pengembangan intelektual atau kognitif semata, sedangkan aspek soft skill atau nonakademik sebagai unsur utama pendidikan karakter belum diperhatikan secara optimal bahkan cenderung diabaikan. Saat ini, ada kecenderungan bahwa target-target akademik masih menjadi tujuan  utama dari hasil pendidikan, seperti halnya Ujian Nasional (UN), sehingga proses pendidikan masih sulit dilakukan.[7]
Menurut Sudarminta, praktik pendidikan  yang semestinya mmperkuat aspek karakter atau nilai-nilai kebaikan sejauh ini hanya mampu menghasilkan berbagai sikap dan perilaku manusia  yang nyata-nyata malah bertolak belakang dengan apa yang diajarkan. Dicontohkan bagaimana Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan agama pada masa lalu merupakan dua jenis mata pelajaran  tata nilai, yang ternyata tidak berhasil menanamkan sejumlah nilai moral dan humanisme ke dalam pusat kesadaran siswa. Bahkan merujuk pada hasil penelitian Afiyah, dkk. (2003), materi yang diajarkan oleh pendidikan agama termasuk di dalamnya bahan ajar akhlak, cenderung terfokus pada pengayaan pengetahuan( kognitif), sedangkan pembentukan sikap (afektif) dan pembiasaan (psikomotorik) sangat minim. Pembelajaran pendidikan agama lebih banyak bersifat hafalan tekstual, sehingga kurang menyentuh aspek sosial mengenai ajaran hidup yang toleran dalam bermasyarakat dan berbangsa.[8]
C.     Tantangan dalam pendidikan karakter
Era globalisasi yang sangat pesat dan menggemparkan membawa tantangan serius bagi dunia pendidikan. Globalisasi menyebabkan liberalisme moral, pemikiran, dan perilaku yang merontokkan norma dan etika yang selama ini dijunjung tinggi.
Ada beberapa tantangan yang menjadi problem utama dalam pendidikan karakter di era globalisasi sekarang ini. Berikut beberapa problem tersebut.
1.      Pengaruh negatif televisi
Program televisi yang bersifat edukatif (mendidik) jumlahnya sangat terbatas. Kebanyakan program yang ditampilkan di televisi adalah rekreatif dan refreshing, yang cenderung menampilkan pornografi dan pornoaksi. Tentu, realitas ini membahayakan terhadap karakter anak-anak. Sebab secara psikologis, mereka masih dalam tahap imitasi, meniru sesuatu yang dilihat, trekam dan didengar. Dengan mudah mereka menjadikan tontonan sebagai tuntunan. Akhirrnya, televisi menjadi guru pertama dan utama bagi anak-anak.
2.      Pergaulan bebas
Sekarang ini pergaulan remaja sangat menghawatirkan. Mereka berkumpul “kongko-kongko” untuk beraktualisasi dan menemukan satu hati dalam berekspresi. Dalam ilmu psikologi sosial, ketika seseorang berkumpul bersama yang lain, ekspresi yang ditampilkan tidak mesti sama dengan apa yang ada didalam hatinya.ia terbawa oleh perilaku kelompoknya.
3.      Dampak buruk internet
Internet saat ini menjadi kebutuhan utama para kaum profesional. Kaum pelajar tidak mau ketinggalan memanfaatkan teknologi super canggih tersebut. Sekolah-sekolah maju menjadikan internet sebagai salah satu keunggulan utama dalam menarik minat calon peserta didik. Namun, harus diketahui bahwa internet, selai membawa dampak positif, juga membawa dampak yang negatif. Dengan internet, seseorang bisa mengakses seluruh informasi yang ada di dunia. Dengan menguasai semua bahasa asing, seseorang akan melihat perkembangan dunia tanpa batas. Sayangnya, internet juga menjadi satu komoditas bisnis, sehingga menu yang ditampilkan banyak berbau porno. Menul itulah yang paling banyak disenangi oleh manusia lintas usia, dan itu pula yang mendatangkan keuntungan melimpah tanpa batas.[9]
4.      Dampak negatif tempat karaoke
Karaoke adalah fenomena dunia modern. Tempat karaoke didesain untuk menjadi tempat istirahat kalangan profesional. Menu yang disediakan adalah cafe, yang berisi minuman, makanan, serta dipandu oleh wanita-wanita cantik yang terlatih dan menarik. Di cafe ini, disediakan berbagai macam  fasilitas, salah satunya adalah nyanyian yang menampilkan artis dengan pakaian seksi yang aduhai dan menggiurkan laki-laki.
5.      Dampak buruk tempat wisata
Tempat-tempat wisata, khususnya pantai banyak menjadi pilihan manusia dalam melewatkan hari istirahat atau kepenatan kerja mereka. Tidak hanya dalam negeri, namun dari luar negeri pun banyak yang menjadikan tempat wisata sebagai pilihan refreshing mereka. Turis asing biasanya berpakaian seksi dengan aura seksual yang kental. Mereka memperlihatkan kepada bangsa ini bahwa kebebasan seksual adalah kenikmatan dunia yang harus dirasakan.[10]
D.    Evaluasi pendidikan karakter
Dalam pendidikan pada umumnya fokus evaluasi dalam tiga aspek yaitu: 1) kognitif (kecerdasan IQ terkait penerapan pengetahuan), 2) afektif (EQ terkait perilaku, disiplin, jujur, tekun, dsb), 3) prikomotorik (keterampilan)
Evaluasi pendidikan karakter lebih menitikberatkan aspek afektif di antaranya berkaitan sikap yang merupakan kecenderungan berperilaku yang mengandung derajat positif dan negatif. Untuk melakukan penilaian sikap melalui observasi langsung atau pertanyaan, dan lebih dikenal dengan penilaian nontes. Aspek afektif diantaranya meliputi: kedisiplinan, kerjasama, menghargai perbedaan pendapat, kepekaan, ketekunan, kesadaran, kegemaran, kesenangan, keseriusan, ketelitian, kecermatan, kehati-hatian, kesantunan, ketegasan, ketertarikan.       
Zamroni menawarkan pengembangan afektif pendidikan agama Islam dengan berdasarkan hakikat pendidikan Islam dan karakteristik materi pendidikan agama Islam, misalnya: tujuan dan klasisfikasi aspek afektif pendidikan Islam menjadi:
1.      Mengembangkan doktrin yang diakitkan dengan usaha untuk memperkuat keimanan siswa atas suatu ajaran yang bersifat mutlak.
2.      Memperkuat komitmen keagamaan  yang dikaitkan dengan keterlibatan dan kemauan siswa untuk melaksnakan ajaran Islam dalam segala aspek kehidupan diri pribadi.
3.      Memperluas wawasan yang berkaitan erat dengan upaya untuk mengembangkan sikap siswa dalam kaitannya dengan nilai-nilai atau ajaran lain, misalnya: toleransi dengan kepercayaan orang Jawa.
4.      Memperhalus penghayatan yang dikaitkan dengan mempertajam penghayatan pelaksanaan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Keempat dimensi aspek afektif tersebut harus muncul secara seimbang pada setiap diri peserta didik. Bila tidak demikian akan menimbulkan distorsi pada diri yang bersangkutan, misalnya menjadi individu yang memiliki doktrin kuat namun tidak diimbangi dengan dimensi lain yang pada gilirannya akan melahirkan sosok individu fundamentalis. Individu yang memiliki komitmen kuat tanpa dibarengi ketiga aspek lain akan melahirkan indivudu yang merasa dirinya paling mampu   berijtihad. Sementara itu, individu yang mempunyai  wawasan kuat yang tidak diimbangi dengan dimensi lain akan melahirkan individu yang menawarkan ide-ide menarik dan kelihatannya begitu manusiawi, misalnya “semua agama benar dan baik “sedangkan individu yang mempunyai penghayatan yang kuat yang tidak diimbangi oleh dimensi lain, akan melahirkan individu dengan penghayatan agama yang begitu khusyuk, seolah-olah beragama Islam harus hidup kembali pada zama Rasulullah SAW.[11]
E.     Iman dan taqwa sebagai core value pendidikan nasional
Terjadinya tawuran antar pelajar, mahasiswa, antar warga desa yang satu dengan yang lainnya, penyalahgunaan narkoba, dan obat-obat terlarang, pergaulan bebas antar pelajar atau mahasiswa, tindakan kekerasan peserta didik senior terhadap yuniornya, kekerasan dalam rumah tangga, menjamurnya perbuatan korupsi di kalangan pejabat, dan berbagai tindak kriminal lainnya, semua itu telah mengindikasikan  tergusurnya nilai-nilai luhur keagamaan dari bangsa ini, dan jika dibiarkan, hal ini akan menghantarkan bangsa ini menuju kehancurannya. Itulah yang menjadikan agama di Indonesia kini telah kehilangan etikanya, dan dalam konteks pendidikan, pendidikan telah kehingan karakternya.
Upaya peningkatan iman dan taqwa bukan hanya menjadi tanggung jawab guru Pendidikan Agama Islam (PAI) saja, tetapi menjadi tanggung jawab bersama seluruh komponen pendidikan di sekolah. Upaya peningkatan iman dan taqwa sebagai core value pendidikan nasional ini merupakan perwujudan dari gagasan pendidikan karakter.
Indonesia merupakan negara yang terus-menerus berupaya menyempurnakan sistem pendidikannya, selalu memperbaharui berbagai kebijakan dan perundang-undangan sistem pendidikan nasionalnya. Hal itu dilakukan agar pendidikan benar-benar mampu menjadi agen pembaharuan dan kemajuan bagi bangsa dan negaranya dengan tetap berlandaskan pada prinip keseimbangan antara aspek jasmani dan rohani, aspek fisik-material dan mental-spiritual, sehingga setiap warga negaranya memperoleh kesejahteraan lahir dan batin.
Dalam mewujudkan pendidikan karakter yang berbasis iman dan taqwa tentunya membutuhkan peran dari semua komponen sekolah, keluarga dan media massa.
a.       Peran Keluarga dalam Pendidikan Karakter
Pengembangan karakter merupakan proses seumur hidup. Pengembangan karakter anak merupakan upaya yang perlu melibatkan semua pihak, baik keluarga inti, keluarga (kakek-nenek), sekolah, masyarakat, maupun pemerintah. Oleh karena itu, keempat koridor ini harus berjalan secara terintegrasi.
Keluarga sebagai basis pendidikan karakter, maka tidak salah kalau krisi karakter yang terjadi di Indonesia sekarang ini dapat dilihat  sebagai salah satu cerminan gagalnya pendidikan keluarga. Keluarga adalah komunitas pertama dimana manusia, sejak dini, belajar konsep baik buruk, pantas dan tidak pantas, benar dan salah. Dengan kata lain, di keluargalah seseorang, sejak dia sadar lingkungan, belajar tata nilai atau moral. Karena tata nilai yang diyakini seseorang akan tercermin dalam karakternya, maka di keluargalah proses pendidikan karakter berawal.
Pendidikan keluarga ini akan menentukan seberapa jauh seorang anak dalam prosesnya menjadi orang yang lebih dewasa, memiliki komitmen terhadap nilai moral tertentu, seperti kejujuran, kedermawanan, kesederhanaan, dan menentukan bagaimana dia melihat dunia di sekitarnya, seperti memandang orang lain yang tidak sama dengan dia, berbeda status sosial, suku, agama, ras, dan latar belakang budaya. Di keluarga juga seseorang mengembangkan konsep awal mengenai keberhasilan dalam hidup atau pandangan mengenai apa yang dimaksud dengan hidup berhasil, dan wawasan mengenai masa depan.
Pada keluarga inti, peranan utama pendidikan terletak pada ayah dan ibu. Secara terperinci, setidaknya terdapat 10 cara yang dapat dilakukan ayah ibu melakukan pengasuhan yang tepat dalam rangka mengembangkan karakter yang baik bagi anak, antara lain:
1.      Menempatkan tugas dan kewajiban ayah-ibu sebagai agenda utama.
Ayah-ibu yang baik akan secara sadar merencanakan dan memberikan waktu yang cukup untuk tugas parenting. Merekan akan meletakkan agenda pembentukan karakter anak sebagai prioritas utama.
2.      Mengevaluasi cara ayah-ibu dalam menghabiskan waktu selama sehari/seminggu.
Ayah-ibu perlu memikirkan jumlah waktu yang ia lalui bersama anak-anak. Penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa seorang ayah bersama anak sehari-harinya ternyata tidak lebih dari 19 menit. Ayah-ibu perlu merencanakan cara yang sesuai dalam melibatkan diri bersama anak-anaka, melalui berbagai kegiatan sehari-hari seperti belajar bersama, makan bersama, mendongeng sebelum tidur.
3.      Menyiapkan diri menjadi contoh yang baik.
Setiap anak memerlukan contoh yang baik dari lingkunganya. Ayah-ibu, baik atau burruk merupakan lingkungan tedekat yang paling banyak ditiru oleh anak. Hal ini dapat dihindari karena anak sedang dalam mas imitasi dan identifikasi.
4.      Membuka mata dan telinga terhadap apa saja yang sedang mereka serap.
Anak-anak ibarat spons kering yang cepat menyerap air. Kebanyakan yang mereka serap adalah yang berkaitan dengan nilai-nilai moral dan karakter. Berbagai media seperti buku, lagu, film, TV, internet, dan lainya secara terus menerus memberikan pesan pesan kepada anak dengan cara yang mengesankan, baik pesan yang bermoral maupun tidak bermoral.oleh karena itu, ayah-ibu harus menjadi pengamat yang baik untuk menyeleksi berbagai pesan-pesan dari berbagai media yang digunakan anak.
5.      Menggunakan bahasa karakter.
Anak-anak akan dapat mengembangkan karakternya jika ayah-ibu menggunakan bahasa yang lugas dan jelas tentang tingkah laku baik dan buruk. Ayah-ibu perlu menjelaskan pada anak tentang perbuatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan  berikut alasannya.
6.      Memberikan hukuman dengna kasih sayang.
Hukuman yang diberikan kepada anak ketika ia melanggar batasan atau rambu-rambu karakter atau moral. Hukuman yang diberikan untuk mencegah sikap manja anak yang mengakibatkan anak menjadi sulit diatur. Untuk itu, hukuman yang diberikan harus bersifat mendidik, agar ia mau belajar. Anak-anak perlu memahami dengan baik dengan syarat dan cara memberiakn hukuman yang mendidik pada anak.
7.      Belajar untuk mendengarkan anak.
Ayah-ibu perlu selalu mengalokasikan waktu untuk mendengarkan anak-anak. Ayah-ibu perlu menegaskan agar anak-anak tahu bahwa apapu yang mereka ceritakan itu sangat penting dan menarik. Tentu hal ini harus selaras dengan sikap ayah-ibu saat mendengarkan anak. Jadi ayah-ibu perlu berkomunikasi secara efektif dengan anak-anak, dengan meluangkan waktu untuk mendengarkan segala keluh kesah dan cerita anak.
8.      Terlibat dalam kehidupan sekolah anak.
Sekolah merupakan bagian penting dalam kehidupan sehari-hari anak. Selama di sekolah, anak bukan hanya mengalami hal-hal menyenangkan, tetapi juga mengahadapi berbagai masalah, kekecewaan, perselisihan pendapat ataupun kekalahan. Ayah-ibu perlu membantu dalam menyiapkan anak untuk menghadapi masalah.
9.      Tidak mendidik karakter melalui kata-kata saja.
Ayah-ibu meskipun sibuk, perlu meluangkan waktu untuk makan bersama anak, setidaknya sekali dalam sehari. Makan bersama merupakan sarana yang baik untuk berkomunikasi dan menanamkan nilai yang baik.
10.  Tidak mendidik karakter melalui kata-kata saja.
Ayah-ibu perlu membantu anak dalam mengembangkan karakter yang baik melalui contoh tentang berbagai sikap dan kebiasaan baik seperti kedisiplinan, hormat, santun, dan tolong menolong. Karakter anak tidak akan berkembang dengan baik jika hanya melalui nasihat ayah-ibu. Oleh karena itu ayah-ibu harus berupaya berperilaku baik agar langsung diconto oleh anak.[12]
b.      Peran semua komponen sekolah dalam pendidikan karakter.
Setelah keluarga, sekolah mempunai peran yang sangat strategis dalam membentuk manusia yang berkarakter. Agar pendidikan karakter dapat berjalan dengan baik memerlukan pemahaman yang cukup dan konsisten oleh seluruh personalia pendidikan. Di sekolah, kepala sekolah, pengawas guru, dan karyawan, harus mempunyai persamaan persepsi tentang pendidikan karakter bagi peserta didik. Kepala sekolah harus mampu membudayakan karakter-karakter unggul di sekolah. Diperlukan revitalisasi berupa penyesuaian terhadap Permendiknas Nomor 13 Tahun 2007agar memasukkan pula kompetensi kepala sekolah terkait dengan peran dan tugas sebagai pendidik karakter bangsa. Artinya dalam peraturan ini perlu mencangkup penguasaan, kemampuan, dan keterampilan kepala sekolah sebagai pendidik nilai karakter bangsa sebagai salah satu dimensi kompetensi mengenai kepala sekolah.
      Pengawas, meskipun tidak berhubungan langsung dengan proses pembelajaran kepada peserta didik/siswa, tetapi ia dapat mendukung keberhasilan penyelenggaraan pendidikan karakter  melalui peran dan fungsi yang diemban.
      Di sekolah, pendidik merupakan figur yang diharapkan mampu mendidik anak yang berkarakter, berbudaya, dan bermoral. Merujuk Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 Pasal 1, semua tenaga kependididkan, baik yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan mempunyai tugas dalam mendidik karakter.
Pendidik merupakan teladan bagi siswa dan memiliki peran yang besar dalam pembentukan karakter siswa. Peran pendidik sebagai pembentuk generasi muda berkarakter sesuai dengan UU Guru dan Dosen UU No. 14 Tahun 2005, guru didefinisikan sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengebaluasi peserta didik pada pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Dalam proses transformasi melalui pendidikan formal di sekolah, pendidik memegang peran yang sangat penting.[13]
      Peran pendidik atau guru dalam konteks pendidikan karakter dapat menjalankan lima peran. Pertama, konservator (pemelihara) sistem nilai yang merupakan sumber norma kedewasaan. Kedua, inovator (pengembang) sistem nilai ilmu pengetahuan. Ketiga, transmit (penerus) sistem-sistem nilai ini kepada peserta didik. Keempat, transformator (penerjemah) sistem-sistem nilai ini melalui penjelmaan dalam pribadinya dan perilakunya, dalam proses interaksi dengan sasaran didik. Kelima, organisator (penyelenggara) terciptanya proses edukatif yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara formal maupun moral.
      Proses pendidikan karakter ini menjadi tanggung jawab semua guru, termasuk juga guru bimbingan dan konseling (konselor sekolah). Konselor sekolah atau guru bimbingan dan konseling sesuai Surat Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Nasional Nomor 25 Tahun 1993, tidak bisa lepas dari peran dan tugas yang terkait dengan pendidikan karakter. Sebagai salah satu pihak yang berkepentingan dengan pendidikan karakter ini, konselor sekolah harus berkomitmen untuk melaksanakan pendidikan karakter tersebut . konselor sekolah hendaknya merancangkan dalam program kegiatannya untuk secara efektif berpartisipasi dalam pengembangan dan penumbuhan karakter pada siswa.
c.       Peran pemimpin dalam pendidikan karakter.
Dalam konteks kebersamaan, negara juga memiliki tanggung jawab moral untuk melakukan pendidikan karakter, budaya, dan moral bangsa Indonesia. Hal ini sesuai dengan prinsip sudah ditetapkan baik dalam UUD 1945 maupun dalam Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003. Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memerhatikan peningkatan iman dan taqwa, peningkatan akhlak mulia, peningkatan potensi daerah dan lingkungan, tuntutan pembangunan daerah dan nasional, tuntutan dunia kerja, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, agama, dinamika perkembangan global, dan persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
d.      Peran media massa dalam pendidikan karakter.
Upaya lembaga pendidikan dalam mendidik karakter peserta didik juga memerlukan dukungan dari institusi media massa seperti televisi, internet, tabloid, koran, dan majalah. Media televisi dapat menyajikan acara-acara tentang potret kehidupan dan perilaku sehari-hari baik dalam bentuk kisah nyata maupun dramatisasi sesuai dengan tujuan yang dikehendaki. Media televisi juga sebagai media massa yang paling populer dan digemari oleh lapisan masyarakat, termasuk anak-anak dan remaja. Melalui televisi, pesan dapat disajikan dalam bentuk audio visual dan gerak. Televisi juga dapat menyajikan siaran langsung (live) atau liputan beritadari  sumbernya pada saat bersamaan. Dengan bantuan media lain, televisi juga menyajikan acara interaktif. Dalam pemanfaatannya, televisi dapat ditonton sambil santai di rumah, menyaksikan siaran langsung, dramatisasi, hiburan, sinetron, hiburan, sinetron, musik, pendidikan, dan informasi lainnya.
F.      Membentuk karakter tidak cukup dengan perintah dan larangan
Perlu dimengerti bahwa perintah dan larangan adalah bagian sangat kecil dalam upaya pembentukan karakter. Perintah dan larangan hanya bantuan sederhana dalam menolong anak untuk melakukan kebaikan dan menghindari kesalahan. Hal pertama yang paling penting sesungguhnya adalah menanamkan kesadaran kepada anak tentang pentingnya sebuah kebaikan. Sebagai contoh kecil, anak perlu tahu mengapa ia harus membuang sampah di tempatnya. Anak juga perlu tahu mengapa ia harus membenci sifat malas membuang sampah sembarangan. Anak harus sadar dan paham akan hal ini, jika orang tua ingin menanamkan membuang sampah pada tempatnya ini sebagai karakter anak.
Setelah proses penyadaran dan pemahaman berjalan, anak dibimbing untuk melakukannya dalam tindakan nyata. Harus tertanam dalam diri anak bahwa setiap kebaikan yang ia ketahui akan ada nilainya di  hadapan Allah dan manusi jika tidak diwujudkan dalam tindakan nyata. Apabila sebuah kebaikan sudah menyepakati bahwa hal itu harus diwujudkan dalam tindakan nyata, orang tua harus segera mengambil langkah untuk segera memberikan pertolongan dan dukungan kepada anak untuk mewujudkannya. Bentuk pertolongan yang dimaksud adalah meneladankan kebaikan-kebaikan tersebut. Anak harus diajari tentang bagaimana wujud penghormatan kepada teman sebaya, tamu, tetangga, dan kepada setiap otrnag ketika ia berpapasan di halaman. Demikian juga dengan cara-cara menghormati orang lain di sekolah atau tempat bermain.
selain memeberikan pemahaman dan melatih dalam bentuk tindakan, juga harus dilakukan instropeksi perilaku anak. Instropeksi ini penting, karena bisa saja terjadi situasi dimana anak harus membuat keputusan atas hal yang belum dipahamkan dan dilatihkan. Instropeksi atau muahasabah akan menuntun kita untuk mereview setiap aktifitas yang telah dilakukan anak sealam seharian.[14]






DAFTAR PUSTAKA
Ardy Wiyani, Novan. pendidikan karakter berbasis iman dan taqwa  ,Yogyakarta, Teras. 2012
Ma’mur Asmani, Jamal. Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah, (Jogjakarta, DIVA Press. 2012
Maksudin, Pendidikan Karakter Nondikotomik, Yogyakarta, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Munir, Abdullah .Pendidikan Karakter Membangun Karakter Anak Sejak dari Rumah, Yogyakarta, PEDAGOGIA. 2010
Samani, Muchlas & Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter ,Bandung, Remaja Rosdakarya. 2011
Zainur Roziqin, Muhammad.Moral Pendidikan di Era Global,Malang, AVERROES PRESS.2007
Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan,Jakarta, Kencana. 2012




[1]Muchlas Samani & Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter ,(Bandung, Remaja Rosdakarya. 2011) hlm. 41
[2] Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan ( Jakarta, Kencana. 2012)  hal. 14
[3] Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan, hal. 17
[4] Novan Ardy Wiyani, pendidikan karakter berbasis iman dan taqwa ( Yogyakarta, Teras. 2012) hlm. 2
[5] Novan Ardy Wiyani, pendidikan karakter berbasis iman dan taqwa, hlm. 4
[6]Muhammad Zainur Roziqin, Moral Pendidikan di Era Global (Malang, AVERROES PRESS.2007)
[7]Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan, hal. 3
[8]Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan. Hlm. 5
[9] Jamal Ma’mur Asmani, Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah, (Jogjakarta, DIVA Press. 2012) hlm.104
[10] Jamal Ma’mur Asmani, Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah,hlm. 109
[11] Maksudin, Pendidikan Karakter Nondikotomik, ( Yogyakarta, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) hlm. 154
[12]Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan hlm.145-147
[13] Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan, hlm. 164
[14]Abdullah Munir, Pendidikan Karakter Membangun Karakter Anak Sejak dari Rumah, ( Yogyakarta, PEDAGOGIA. 2010) hlm. 10