Sabtu, 24 Mei 2014

Resensi



Resensi
Politik Pengetahuan dalam Rekontruksi Sejarah


                             
                                  

Judul Buku                   Judul                 : Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad
Garda Depan Menegakkan Indonesia (1945-1949)
Pengarang                  : Zainul Milal Bizawie
Penerbit                     : Januari 2014
Tebal Buku                : xxxii + 420 halaman
Resentator                 : Agita Sunni Hidayah



           Sejarah merupakan cerita masa lalu yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Sayangnya, sejarah yang menjadi pelajaran bagi generasi berikutnya seringkali diombang-ambing karena adanya politik kekuasaan yang menghilangkan nilai keobjektifannya. Dalam buku Zainul Milal Bizawie yang berjudul  Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad ini mencoba memaparkan plot cerita kiprah ulama-santri dan membuka rangkaian fakta yang selama ini belum tersingkap dalam serangkaian sejarah  bangsa Indonesia.
Menggali sejarah perjuangan ulama-santri pada tahun 1945-1949 ternyata tidak mudah ketika menelusuri episode sejarah yang hampir satu abad nyaris dipinggirkan. Pelenyapan dokumen-dokumen terkait keterlibatan laskar ulama-santri yang tergabung dalam laskar Hisbullah, Sabilillah maupun Mujahidin turut mempersulit upaya penyingkapan fakta yang dilakukan oleh penulis.
           Penulis ingin menunjukkan bahwa sejarah seharusnya mengkaji dengan jernih tanpa adanya kepentingan politik yang terdapat dalam relasi kuasa (power relation), atau yang dikenal dengan politik pengetahuan (politic of knowledge). Indonesia tidak hanya dibangun dengan senjata ataupun kekuatan ideologi penguasa, namun dengan do’a, keikhlasan dan keluhuran budi bangsa Indonesia.
           Para ulama-santri selalu menjadi garda depan pertempuran untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Namun, dalam penulisan sejarah bangsa Indonesia selama ini tidak memperhatikan peran besar ulama santri.
           Di era politik etis Belanda, kalangan pesantren begitu terpinggirkan, sehingga tidak mendapatkan perhatian dan kebijakan pendidikan, bahkan  terkesan dirugikan. Namun, karakteristik pendidikan pesantren tetap dipertahankan dan menjadi ciri khas Islam tradisional. Pesantren telah membangun dan menjaga suatu gerakan membangun bangsa ini melalui jejaring ulama yang tersebar dimana-mana. 
           Kemudian buku tersebut mengupas kisah-kisah heroik dan luar biasa yang sampai saat ini tetap diceritakan di kalangan santri. Kisah tentang karomah dan kehebatan para kyai serta kehebatan bambu runcing yang telah mendapatkan doa dari para kyai. Kisah-kisah yang mungkin tidak rasional tetap menjadi sejarah. Pesantren-pesantren dijadikan basis perlawanan ketika kolonial Belanda meluluhlantakkan kota-kota dan pusat-pusat pemerintahan.
           Resolusi jihad para ulama-santri masa kini harus berbeda pada zaman dulu karena lebih berat, penjajahan saat ini adalah penjajahan ideologi, bukan secara fisik.    Buku yang ditulis oleh Pembina Pesantren Mahasiswa Copass Center di Jakarta ini merupakan gerakan yang dilakukan beliau dan berhasil mengejutkan bangsa Indonesia dengan fakta-fakta yang diungkapnya.
           Penulis mencoba membuka sejarah dengan perspektif orang dalam tetapi tidak menghilangkan objektifitasnya. Meskipun buku ini belum final, dan akan diteruskan dengan buku lain seperti yang tengah dirampungkannya buku yang berjudul Trilogi Sejarah Jejaring Ulama-Santri. Namun dengan adanya buku tersebut, bangsa Indonesia diajarkan untuk melek  sejarah, dengan keberhasilannya membuka fakta- fakta yang selama ini dipinggirkan. Buku tersebut sebagai bentuk kritik terhadap penulisan sejarah nasional. Penulis benar-benar memperlihatkan bahwa para ulama tidak hanya berjuang memerdekakan bangsa Indonesia, namun juga berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
           Meskipun ide yang terdapat dalam buku karya Zainul Milal Bizawie ini  sangat mencengangkan, namun masih banyak penulisan kata yang kurang tepat, dan bahasa yang digunakan hanya dapat dipahami oleh kaum intelektual saja, sementara masyarakat umum akan sulit memahami.

Artikel



Memusnahkan pemerkosaan pendidikan

Oleh: Agita Sunni Hidayah
Ketika membincang masalah “Pendidikan Kritis” maka yang harus diketahui adalah hakikat dari pendidikan dan teori kritis. Pendidikan merupakan wujud proses transfer ilmu dan nilai dari pendidik kepada peserta didik. Melalui pendidikan seseorang dapat termotivasi untuk lebih baik disegala aspek kehidupan. Sesuai dengan tujuan pendidikan yaitu untuk menciptakan seorang yang berkualitas dan berkarakter sehingga memiliki pandangan yang luas untuk mencapai suatu cita-cita. Sedangkan teori kritis adalah menghilangkan segala bentuk dominasi dan mendorong kebebasan, keadilan dan persamaan. Teori ini menggunakan metode reflektif dengan cara mengkritik secara terus menerus terhadap tatanan atau institusi sosial, politik, ekonomi, pendidikan yang cenderung tidak kondusif  bagi pencapaian keadilan, kebebasan dan persamaan.
Pendidikan kritis mencoba mengubah paradigma tentang proses pendidikan. Selama ini seorang guru menjadi pelaku utama dalam proses pendidikan. Sedangkan murid hanya menerima apa yang disampaikan kepada guru dan membenarkan semua yang dikatakan oleh guru. Pendidikan kritis menginginkan proses pendidikan bukan hanya satu arah saja, namun antara pendidikan dan peserta didik ada timbal balik dan saling memberi pengetahuan atau bertukar pikiran. Seperti yang diinginkan dari Kurikulum 2013 selain pendidikan itu berbasis IT juga salah satunya adalah pendidikan yang aktif, berarti peserta didik juga dituntut untuk aktif dan mencari sumber informasi lain selain guru. Sehingga antara guru dan peserta didik terjadi timbal balik.
Berdasarkan UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 BAB 1 bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terncana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Jadi terlihat jelas bahwa peserta didik dengan bebas mengembangkan potensi dirinya dan guru bukanlah satu-satunya kebenaran mutlak. Namun ketika dihadapkan pada kenyataannya bahwa pendidikan kritis masih belum disadari baik oleh pendidik maupun peserta didik. Seperti halnya sekarang ini, pendidikan seperti mencetak robot-robot organik, apa yang diberikan itulah kebenaran. Padahal sejatinya pendidikan itu proses untuk memanusiakan manusia, bukan berarti seorang yang  bersekolah itu cerdas karena sekolah itu hanya institusi dari pendidikan.
Sudah saatnya sistem pendidikan Indonesia ini diubah, pendidikan itu bukan sebuah penindasan dan pemerkosaan kebenaran, namun pendidikan itu proses mencari kebenaran. Dan pendidik bukanlah kebenaran mutlak dalam pendidikan. Karena sejatinya setiap orang berhak akan kebenaran yang hakiki.