REKONTRUKSI PENDIDIKAN KARAKTER
DENGAN IMPLEMENTASI NYATA
Disusun Guna Memenuhi Ujian
Semester Gasal
Mata kuliah: Karya Tulis Ilmiyah
Dosen Pengampu: Syamsul Ma’arif,M.Ag
Disusun oleh:
AGITA SUNNI HIDAYAH (133111137)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
I.
LATAR BELAKANG
Membicarakan karakter
merupakan hal sangat penting dan mendasar. Karakter adalah mustika hidup yang
membedakan manusia dengan binatang. Manusia tanpa karakter adalah manusia yang
sudah “membinatang”. Orang-orang yang berkarakter kuat dan baik secara
individual maupun sosial adalah mereka yang memiliki akhlak, moral, dan budi
pekerti yang baik. Mengingat begitu urgennya karakter, maka instisusi
pendidikan memiliki tanggug jawab untuk menanamkannya melalui proses
pembelajaran.
Penguatan pendidikan
sebagai wahana internalisasi moral dalam konteks sekarang ini sangat relevan
untuk mengatasi krisis moral yang sedang terjadi di negara kita. Diakui atau
tidak saat ini terjadi krisis nyata dan mengkhawatirkan dalam masyarakat dengan
melibatkan milik kita yang paling berharga yaitu anak-anak. Krisis itu
diantaranya meningkatnya pergaulan seks bebas, maraknya angka kekerasan
anak-anak dan remaja, kejahatan terhadap teman, pencurian remaja, kebiasaan
menyontek hingga perusakan milik orang lain.
Kondisi krisis dan
dekadensi moral ini menandakan bahwa seluruh pengetahuan agama dan moral yang
didapatkannya di bangku sekolah ternyata tidak berdampak terhadap perilaku
manusia Indonesia. Bahkan yang terlihat adalah begitu banyaknya masyarakat
Indonesia yang tidak konsisten, lain yang dibicarakannya, lain pula
tindakannya.
Diakui, persoalan
karakter atau moral emmang tidak sepenuhnya terabaikan oleh lembaga pendidikan.
Akan tetapi dengan fakta-fakta seputar kemerosotan karakter pada sekitar kita
menunjukkan bahwa ada kegagalan pada institusi pendidikan dalam hal menumbuhkan
manusia Indonesia yang berkarakter atau berakhlak mulia. Pendidikan agama dan
moral belum dapat mmembentuk manusia yang berkarakter.
Sudah saatnya pendidikan
menjadi wahana internalisasi moral yang realistis, bukan hanya sekedar untuk
pengetahuan dan nilai saja tetapi lebih kepada implementasi moral dalam
kehidupan sehari-hari.
II.
ISI DAN SOLUSI
A.
Konsep dasar pendidikan karakter
Pendidikan karakter telah menjadi polemik di berbagai
negara. Pandangan pro dan kontra mewarnai diskursus pendidikan karakter sejak
lama. Sejatinya pendidikan karakter merupakan bagian esensial yang menjadi
tugas sekolah, tetapi selama ini kurang perhatian. Akibat minimnya perhatian
terhadap pendidikan karakter dalam ranah persekolahan, sebagaimana dikemukakan
Lickona, telah menyebabkan berkembangnya berbagai penyakit sosial di tengah
masyarakat, sebaiknya, sekolah tidak hanya berkewajiban meningkatkan pencapaian
akademis, tetapi juga bertanggung jawab dalam membentuk karakter yang baik
merupakan dua misi yang harus mendapat perhatian sekolah.
Karakter dimaknai sebagai cara berpikir dan berperilaku
yang khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup
keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah
individu yang dapat membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan setiap
akibat dari keputusannya. Karakter dapat dianggap sebagai nilai-nilai perilaku
manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama
manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap,
perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata
krama, budaya, adat istiadat, dan estetika. Karakter adalah perilaku yang
tampak dalam kehidupan sehari-hari baik dalam bersikap maupun dalam bertindak.[1]
Pendidikan karakter diartikan sebagai the deliberate
us of all dimensions of school life to foster optimal development ( usaha
kita secara sengaja dari seluruh dimensi kehidupan sekolah untuk membantu
pengembangan karakter dengan optimal). Hal ini berarti bahwa untuk mendukung
perkembangan karakter peserta didik harus melibatkan seluruh komponen di
sekolah baik dari aspek isi kurikulum ( the content of the curiculum), proses
pembelajaran ( the procces of instruction), kualitas hubungan ( the quality of
relationships), penanganan mata pelajaran ( the handling of discipline),
pelaksanaan aktivitas ko-kurikuler, serta etos seluruh lingkungan sekolah.[2]
Dalam grand desain pendidikan karakter, pendidikan
karakter merupakan proses pembudayaan dan pemberdayaan nilai-nilai luhur dalam
lingkungan pendidikan (sekolah), lingkungan keluarga, dan lingkungan
masyarakat. Nilai-nilai luhur ini berasal dari teori-teori pendidikan,
psikologi pendidikan, nilai-nilai sosial budaya, ajaran agama, Pancasila dan
UUD 1945, dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, serta
pengalaman terbaik dan praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari. Proses
pembudayaan dan pemberdayaan nilai-nilai luhur ini juga perlu didukung oleh
komitmen dan kebijakan pemangku kepentingan serta pihak-pihak terkait lainnya
termasuk dukungan sarana prasarana yeng diperlukan. [3]
Pendidikan karakter
mempunyai tiga fungsi utama:
1.
Fungsi pembentukan dan pengembangan
potensi. Pendidikan karakter berfungsi membentuk dan mengembangkan potensi
peserta didik agar berpikiran baik, berhati baik, dan berperilaku baik sesuai
dengan falsafah Pancasila.
2.
Fungsi perbaikan dan penguatan.
Pendidikan karakter berfungsi untuk memperbaiki dan menguatkan peran keluarga,
satuan pendidikan, masyarakat, dan pemerintah untuk ikut berpartisipasi dan
bertanggung jawab dalam pengembangan potensi warga negara dan pembangunan
bangsa yang maju, mandiri dan sejahtera.
3.
Fungsi penyaring. Pendidikan
karakter berfungsi memilah budaya bangsa sendiri dan menyaring budaya bangsa
lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya karakter bangsa yang
bermartabat.
Ketiga fungsi ini dilakukan melalui pengukuhan Pancasila
sebagai falsafah dan ideologi negara, pengukuhan nilai dan norma kontitusional
UUD 45, penguatan komitmen kebangsaan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI), penguatan nilai-nilai keberagaman sesuai dengan konsepsi Bhineka
Tunggal Ika, dan penguatan keunggulan dan daya saing bangsa untuk keberlanjutan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia dalam konteks
global.
Arah dan tujuan pendidikan nasional kita, seperti yang
diamanatkan oleh UUD 1945, adalah peningkatan iman dan taqwa serta pembinaan
akhlak mulia para peserta didik dalam hal ini adalah seluruh warga negara yang
mengikuti proses pendidikan di Indonesia. Karena itu, pendidikan yang membangun
nilai-nilai moral atau karakter di kalangan peserta didik harus selalu
mendapatkan perhatian. Pendidikan di tingkat dasar (SD dan SMP) merupakan wadah
yang sangat penting untuk mempersiapkan sejak dini generasi penerus yang
nantinya akan menjadi pemimpin bangsa kita di masa mendatang.
Undang-undang Nomor 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, menyebutkan bahwa pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangkta mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dan pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agarmenjadi
manusi yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.[4]
Berdasarkan fungsi dan
tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang harus
diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut
berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing,
beretika, bermoral, sopan santun, dan berinteraksi dengan masyarakat.
Fungsi dan tujuan
pendidikan nasional Indonesia sesungguhnya berpijak pada landasan ideologis
Pancasila sebagai falsafah bangsa Indonesia, yang menempatkan sila “Ketuhanan
Yang Maha Esa” sebagai sila pertama, yang menunjukkan bahwa sila ketuhanan ini harus
melandasi dan menjiwai seluruh sila-sila lainnya.
Dalam perspektif islam,
dasar dan tujuan pendidikan nasional diatas, secara umum dapat dikatakan bahwa
tujuan pendidikan adalah pembentukan kepribadian individu yang
sempurna(kaffah). Pribadi individu yang demikian merupakan pribadi yang
menggambarkan terwujudnya keseluruhan esensi manusia secara kodrati, yaitu
sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk bermoral, dan makhluk yang
ber Tuhan.
Deskripsi tujuan
pendidikan nasional dalam perspektif Islam di atas selaras dengan visi
Kemendiknas 2005 pada Rencana Strategi Kementri an Pendidikan Nasional
2010-2014 yaitu menghasilkan Insan
Indonesia Cerdas dan Kompetitif (insan kamil/insan paripurna). Yang dimaksud
insanIndonesia cerdas adalah insan yang cerdas komprehensif, yaitu cerdas
spiritual, cerdas emosional, cerdas sosial, cerdas intelektual, dan cerdas
kinestetis.[5]
Dari deskripsi fungsi
dan tujuan pendidikan nasional pada Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003
serta Rencana Kementrian Pendidikan Nasional tahun 2010-2014 di atas maka jelaslah bahwa yang menjadi core
value (nilai inti) dari pendidikan nasional adalah perwujudan manusia yang
beriman dan bertaqwa. Konsep iman dan taqwa dalam islam dapat dipandang dari
sudut toelogis-keimanan dikenal dengan konsep tauhid yang sifatnya doktriner,
yaitu kepercayaan tunggal terhadap keesaan Allah SWT.
Konsep iman dan taqwa
dalam islam, iman merupakan mempercayai wujud dan wahdaniyat Allah, sedangkan
taqwa adalah takut dan patuh kepada Allah. Hal tersebut memperjelas bahwa
pentingnya pendidikan dalan konteks keislaman dan moralitas adalah terbinanya
hubungan vertikal secara manusiawi dan sosial. Maka sebuah konsep pendidikan
yang dilandasi keimanan dan ketaqwaan bukan hanya menghasilkan output
yang memiliki tanggung jawab sosial (pribadi, masyarakat, bangsa) namun juga
memiliji tanggung jawab moral kepada Tuhan.
B.
Realita pendidikan di Indonesia
Globalisasi telah
menjadi pendorong utama pergeseran pola interaksi antara guru-murid. Dalam
konteks sikap/perilaku murid kini merefrensikan perilakunya dengan tuntutan
etika dari luar. Sikap dan perilaku bergeser ke arah yang lebih pragmatis.
Murid tidak hanya menerima nilai dari pendidikan yang dilakukan guru, melainkan
juga dari berbagai media yang mereka akses.
Guru mengharapkan murid
bersikap hormat dalam konteksnya sebagai pihak yang harus “digugu” dan
“ditiru”. Tapi di sisi lain murid mengadopsi
nilai-nilai yang lebih mencerminkan ternd komunikasi masa kini, tanpa
peduli itu sebagai sikap hormat atau tidak.[6]
Pendidikanlah yang
sesungguhnya paling besar mwmberikan kontribusi pada situasi ini. Dalam konteks
pendidikan formal di sekolah, bisa jadi salah satu penyebabnya karena
pendidikan di Indonesia lebih menitikberatkan pada pengembangan intelektual
atau kognitif semata, sedangkan aspek soft skill atau nonakademik sebagai unsur
utama pendidikan karakter belum diperhatikan secara optimal bahkan cenderung
diabaikan. Saat ini, ada kecenderungan bahwa target-target akademik masih
menjadi tujuan utama dari hasil pendidikan,
seperti halnya Ujian Nasional (UN), sehingga proses pendidikan masih sulit
dilakukan.[7]
Menurut Sudarminta,
praktik pendidikan yang semestinya
mmperkuat aspek karakter atau nilai-nilai kebaikan sejauh ini hanya mampu
menghasilkan berbagai sikap dan perilaku manusia yang nyata-nyata malah bertolak belakang
dengan apa yang diajarkan. Dicontohkan bagaimana Pendidikan Moral Pancasila
(PMP) dan agama pada masa lalu merupakan dua jenis mata pelajaran tata nilai, yang ternyata tidak berhasil
menanamkan sejumlah nilai moral dan humanisme ke dalam pusat kesadaran siswa.
Bahkan merujuk pada hasil penelitian Afiyah, dkk. (2003), materi yang diajarkan
oleh pendidikan agama termasuk di dalamnya bahan ajar akhlak, cenderung
terfokus pada pengayaan pengetahuan( kognitif), sedangkan pembentukan sikap
(afektif) dan pembiasaan (psikomotorik) sangat minim. Pembelajaran pendidikan
agama lebih banyak bersifat hafalan tekstual, sehingga kurang menyentuh aspek
sosial mengenai ajaran hidup yang toleran dalam bermasyarakat dan berbangsa.[8]
C.
Tantangan dalam pendidikan karakter
Era globalisasi yang
sangat pesat dan menggemparkan membawa tantangan serius bagi dunia pendidikan.
Globalisasi menyebabkan liberalisme moral, pemikiran, dan perilaku yang
merontokkan norma dan etika yang selama ini dijunjung tinggi.
Ada beberapa tantangan
yang menjadi problem utama dalam pendidikan karakter di era globalisasi
sekarang ini. Berikut beberapa problem tersebut.
1.
Pengaruh negatif televisi
Program televisi yang
bersifat edukatif (mendidik) jumlahnya sangat terbatas. Kebanyakan program yang
ditampilkan di televisi adalah rekreatif dan refreshing, yang cenderung
menampilkan pornografi dan pornoaksi. Tentu, realitas ini membahayakan terhadap
karakter anak-anak. Sebab secara psikologis, mereka masih dalam tahap imitasi,
meniru sesuatu yang dilihat, trekam dan didengar. Dengan mudah mereka
menjadikan tontonan sebagai tuntunan. Akhirrnya, televisi menjadi guru pertama
dan utama bagi anak-anak.
2.
Pergaulan bebas
Sekarang ini pergaulan
remaja sangat menghawatirkan. Mereka berkumpul “kongko-kongko” untuk
beraktualisasi dan menemukan satu hati dalam berekspresi. Dalam ilmu psikologi
sosial, ketika seseorang berkumpul bersama yang lain, ekspresi yang ditampilkan
tidak mesti sama dengan apa yang ada didalam hatinya.ia terbawa oleh perilaku
kelompoknya.
3.
Dampak buruk internet
Internet saat ini
menjadi kebutuhan utama para kaum profesional. Kaum pelajar tidak mau
ketinggalan memanfaatkan teknologi super canggih tersebut. Sekolah-sekolah maju
menjadikan internet sebagai salah satu keunggulan utama dalam menarik minat
calon peserta didik. Namun, harus diketahui bahwa internet, selai membawa
dampak positif, juga membawa dampak yang negatif. Dengan internet, seseorang
bisa mengakses seluruh informasi yang ada di dunia. Dengan menguasai semua
bahasa asing, seseorang akan melihat perkembangan dunia tanpa batas. Sayangnya,
internet juga menjadi satu komoditas bisnis, sehingga menu yang ditampilkan
banyak berbau porno. Menul itulah yang paling banyak disenangi oleh manusia
lintas usia, dan itu pula yang mendatangkan keuntungan melimpah tanpa batas.[9]
4.
Dampak negatif tempat karaoke
Karaoke adalah fenomena
dunia modern. Tempat karaoke didesain untuk menjadi tempat istirahat kalangan
profesional. Menu yang disediakan adalah cafe, yang berisi minuman, makanan,
serta dipandu oleh wanita-wanita cantik yang terlatih dan menarik. Di cafe ini,
disediakan berbagai macam fasilitas,
salah satunya adalah nyanyian yang menampilkan artis dengan pakaian seksi yang
aduhai dan menggiurkan laki-laki.
5.
Dampak buruk tempat wisata
Tempat-tempat wisata,
khususnya pantai banyak menjadi pilihan manusia dalam melewatkan hari istirahat
atau kepenatan kerja mereka. Tidak hanya dalam negeri, namun dari luar negeri
pun banyak yang menjadikan tempat wisata sebagai pilihan refreshing mereka.
Turis asing biasanya berpakaian seksi dengan aura seksual yang kental. Mereka
memperlihatkan kepada bangsa ini bahwa kebebasan seksual adalah kenikmatan
dunia yang harus dirasakan.[10]
D.
Evaluasi pendidikan karakter
Dalam pendidikan pada
umumnya fokus evaluasi dalam tiga aspek yaitu: 1) kognitif (kecerdasan IQ
terkait penerapan pengetahuan), 2) afektif (EQ terkait perilaku, disiplin,
jujur, tekun, dsb), 3) prikomotorik (keterampilan)
Evaluasi pendidikan
karakter lebih menitikberatkan aspek afektif di antaranya berkaitan sikap yang
merupakan kecenderungan berperilaku yang mengandung derajat positif dan
negatif. Untuk melakukan penilaian sikap melalui observasi langsung atau
pertanyaan, dan lebih dikenal dengan penilaian nontes. Aspek afektif
diantaranya meliputi: kedisiplinan, kerjasama, menghargai perbedaan pendapat,
kepekaan, ketekunan, kesadaran, kegemaran, kesenangan, keseriusan, ketelitian,
kecermatan, kehati-hatian, kesantunan, ketegasan, ketertarikan.
Zamroni menawarkan pengembangan
afektif pendidikan agama Islam dengan berdasarkan hakikat pendidikan Islam dan
karakteristik materi pendidikan agama Islam, misalnya: tujuan dan klasisfikasi
aspek afektif pendidikan Islam menjadi:
1.
Mengembangkan doktrin yang diakitkan
dengan usaha untuk memperkuat keimanan siswa atas suatu ajaran yang bersifat
mutlak.
2.
Memperkuat komitmen keagamaan yang dikaitkan dengan keterlibatan dan
kemauan siswa untuk melaksnakan ajaran Islam dalam segala aspek kehidupan diri
pribadi.
3.
Memperluas wawasan yang berkaitan
erat dengan upaya untuk mengembangkan sikap siswa dalam kaitannya dengan
nilai-nilai atau ajaran lain, misalnya: toleransi dengan kepercayaan orang
Jawa.
4.
Memperhalus penghayatan yang
dikaitkan dengan mempertajam penghayatan pelaksanaan ajaran Islam dalam
kehidupan sehari-hari.
Keempat dimensi aspek
afektif tersebut harus muncul secara seimbang pada setiap diri peserta didik.
Bila tidak demikian akan menimbulkan distorsi pada diri yang bersangkutan,
misalnya menjadi individu yang memiliki doktrin kuat namun tidak diimbangi
dengan dimensi lain yang pada gilirannya akan melahirkan sosok individu
fundamentalis. Individu yang memiliki komitmen kuat tanpa dibarengi ketiga
aspek lain akan melahirkan indivudu yang merasa dirinya paling mampu berijtihad. Sementara itu, individu yang
mempunyai wawasan kuat yang tidak
diimbangi dengan dimensi lain akan melahirkan individu yang menawarkan ide-ide
menarik dan kelihatannya begitu manusiawi, misalnya “semua agama benar dan baik
“sedangkan individu yang mempunyai penghayatan yang kuat yang tidak diimbangi
oleh dimensi lain, akan melahirkan individu dengan penghayatan agama yang
begitu khusyuk, seolah-olah beragama Islam harus hidup kembali pada zama
Rasulullah SAW.[11]
E.
Iman dan taqwa sebagai core value
pendidikan nasional
Terjadinya tawuran antar
pelajar, mahasiswa, antar warga desa yang satu dengan yang lainnya,
penyalahgunaan narkoba, dan obat-obat terlarang, pergaulan bebas antar pelajar
atau mahasiswa, tindakan kekerasan peserta didik senior terhadap yuniornya, kekerasan
dalam rumah tangga, menjamurnya perbuatan korupsi di kalangan pejabat, dan
berbagai tindak kriminal lainnya, semua itu telah mengindikasikan tergusurnya nilai-nilai luhur keagamaan dari
bangsa ini, dan jika dibiarkan, hal ini akan menghantarkan bangsa ini menuju
kehancurannya. Itulah yang menjadikan agama di Indonesia kini telah kehilangan
etikanya, dan dalam konteks pendidikan, pendidikan telah kehingan karakternya.
Upaya peningkatan iman
dan taqwa bukan hanya menjadi tanggung jawab guru Pendidikan Agama Islam (PAI)
saja, tetapi menjadi tanggung jawab bersama seluruh komponen pendidikan di
sekolah. Upaya peningkatan iman dan taqwa sebagai core value pendidikan
nasional ini merupakan perwujudan dari gagasan pendidikan karakter.
Indonesia merupakan
negara yang terus-menerus berupaya menyempurnakan sistem pendidikannya, selalu
memperbaharui berbagai kebijakan dan perundang-undangan sistem pendidikan
nasionalnya. Hal itu dilakukan agar pendidikan benar-benar mampu menjadi agen
pembaharuan dan kemajuan bagi bangsa dan negaranya dengan tetap berlandaskan
pada prinip keseimbangan antara aspek jasmani dan rohani, aspek fisik-material
dan mental-spiritual, sehingga setiap warga negaranya memperoleh kesejahteraan
lahir dan batin.
Dalam mewujudkan
pendidikan karakter yang berbasis iman dan taqwa tentunya membutuhkan peran
dari semua komponen sekolah, keluarga dan media massa.
a.
Peran Keluarga dalam Pendidikan
Karakter
Pengembangan karakter
merupakan proses seumur hidup. Pengembangan karakter anak merupakan upaya yang
perlu melibatkan semua pihak, baik keluarga inti, keluarga (kakek-nenek),
sekolah, masyarakat, maupun pemerintah. Oleh karena itu, keempat koridor ini
harus berjalan secara terintegrasi.
Keluarga sebagai basis
pendidikan karakter, maka tidak salah kalau krisi karakter yang terjadi di
Indonesia sekarang ini dapat dilihat
sebagai salah satu cerminan gagalnya pendidikan keluarga. Keluarga
adalah komunitas pertama dimana manusia, sejak dini, belajar konsep baik buruk,
pantas dan tidak pantas, benar dan salah. Dengan kata lain, di keluargalah
seseorang, sejak dia sadar lingkungan, belajar tata nilai atau moral. Karena
tata nilai yang diyakini seseorang akan tercermin dalam karakternya, maka di
keluargalah proses pendidikan karakter berawal.
Pendidikan keluarga ini
akan menentukan seberapa jauh seorang anak dalam prosesnya menjadi orang yang
lebih dewasa, memiliki komitmen terhadap nilai moral tertentu, seperti
kejujuran, kedermawanan, kesederhanaan, dan menentukan bagaimana dia melihat
dunia di sekitarnya, seperti memandang orang lain yang tidak sama dengan dia,
berbeda status sosial, suku, agama, ras, dan latar belakang budaya. Di keluarga
juga seseorang mengembangkan konsep awal mengenai keberhasilan dalam hidup atau
pandangan mengenai apa yang dimaksud dengan hidup berhasil, dan wawasan
mengenai masa depan.
Pada keluarga inti,
peranan utama pendidikan terletak pada ayah dan ibu. Secara terperinci,
setidaknya terdapat 10 cara yang dapat dilakukan ayah ibu melakukan pengasuhan
yang tepat dalam rangka mengembangkan karakter yang baik bagi anak, antara
lain:
1.
Menempatkan tugas dan kewajiban
ayah-ibu sebagai agenda utama.
Ayah-ibu yang baik akan
secara sadar merencanakan dan memberikan waktu yang cukup untuk tugas parenting.
Merekan akan meletakkan agenda pembentukan karakter anak sebagai prioritas
utama.
2.
Mengevaluasi cara ayah-ibu dalam
menghabiskan waktu selama sehari/seminggu.
Ayah-ibu perlu
memikirkan jumlah waktu yang ia lalui bersama anak-anak. Penelitian di Amerika
Serikat menunjukkan bahwa seorang ayah bersama anak sehari-harinya ternyata
tidak lebih dari 19 menit. Ayah-ibu perlu merencanakan cara yang sesuai dalam
melibatkan diri bersama anak-anaka, melalui berbagai kegiatan sehari-hari
seperti belajar bersama, makan bersama, mendongeng sebelum tidur.
3.
Menyiapkan diri menjadi contoh yang
baik.
Setiap anak memerlukan
contoh yang baik dari lingkunganya. Ayah-ibu, baik atau burruk merupakan
lingkungan tedekat yang paling banyak ditiru oleh anak. Hal ini dapat dihindari
karena anak sedang dalam mas imitasi dan identifikasi.
4.
Membuka mata dan telinga terhadap
apa saja yang sedang mereka serap.
Anak-anak ibarat spons
kering yang cepat menyerap air. Kebanyakan yang mereka serap adalah yang
berkaitan dengan nilai-nilai moral dan karakter. Berbagai media seperti buku,
lagu, film, TV, internet, dan lainya secara terus menerus memberikan pesan
pesan kepada anak dengan cara yang mengesankan, baik pesan yang bermoral maupun
tidak bermoral.oleh karena itu, ayah-ibu harus menjadi pengamat yang baik untuk
menyeleksi berbagai pesan-pesan dari berbagai media yang digunakan anak.
5.
Menggunakan bahasa karakter.
Anak-anak akan dapat
mengembangkan karakternya jika ayah-ibu menggunakan bahasa yang lugas dan jelas
tentang tingkah laku baik dan buruk. Ayah-ibu perlu menjelaskan pada anak
tentang perbuatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan berikut alasannya.
6.
Memberikan hukuman dengna kasih
sayang.
Hukuman yang diberikan
kepada anak ketika ia melanggar batasan atau rambu-rambu karakter atau moral.
Hukuman yang diberikan untuk mencegah sikap manja anak yang mengakibatkan anak
menjadi sulit diatur. Untuk itu, hukuman yang diberikan harus bersifat
mendidik, agar ia mau belajar. Anak-anak perlu memahami dengan baik dengan
syarat dan cara memberiakn hukuman yang mendidik pada anak.
7.
Belajar untuk mendengarkan anak.
Ayah-ibu perlu selalu
mengalokasikan waktu untuk mendengarkan anak-anak. Ayah-ibu perlu menegaskan
agar anak-anak tahu bahwa apapu yang mereka ceritakan itu sangat penting dan
menarik. Tentu hal ini harus selaras dengan sikap ayah-ibu saat mendengarkan
anak. Jadi ayah-ibu perlu berkomunikasi secara efektif dengan anak-anak, dengan
meluangkan waktu untuk mendengarkan segala keluh kesah dan cerita anak.
8.
Terlibat dalam kehidupan sekolah
anak.
Sekolah merupakan bagian
penting dalam kehidupan sehari-hari anak. Selama di sekolah, anak bukan hanya
mengalami hal-hal menyenangkan, tetapi juga mengahadapi berbagai masalah,
kekecewaan, perselisihan pendapat ataupun kekalahan. Ayah-ibu perlu membantu
dalam menyiapkan anak untuk menghadapi masalah.
9.
Tidak mendidik karakter melalui
kata-kata saja.
Ayah-ibu meskipun sibuk,
perlu meluangkan waktu untuk makan bersama anak, setidaknya sekali dalam
sehari. Makan bersama merupakan sarana yang baik untuk berkomunikasi dan
menanamkan nilai yang baik.
10. Tidak mendidik karakter
melalui kata-kata saja.
Ayah-ibu perlu membantu
anak dalam mengembangkan karakter yang baik melalui contoh tentang berbagai
sikap dan kebiasaan baik seperti kedisiplinan, hormat, santun, dan tolong
menolong. Karakter anak tidak akan berkembang dengan baik jika hanya melalui
nasihat ayah-ibu. Oleh karena itu ayah-ibu harus berupaya berperilaku baik agar
langsung diconto oleh anak.[12]
b.
Peran semua komponen sekolah dalam
pendidikan karakter.
Setelah keluarga, sekolah mempunai
peran yang sangat strategis dalam membentuk manusia yang berkarakter. Agar
pendidikan karakter dapat berjalan dengan baik memerlukan pemahaman yang cukup
dan konsisten oleh seluruh personalia pendidikan. Di sekolah, kepala sekolah,
pengawas guru, dan karyawan, harus mempunyai persamaan persepsi tentang
pendidikan karakter bagi peserta didik. Kepala sekolah harus mampu membudayakan
karakter-karakter unggul di sekolah. Diperlukan revitalisasi berupa penyesuaian
terhadap Permendiknas Nomor 13 Tahun 2007agar memasukkan pula kompetensi kepala
sekolah terkait dengan peran dan tugas sebagai pendidik karakter bangsa.
Artinya dalam peraturan ini perlu mencangkup penguasaan, kemampuan, dan
keterampilan kepala sekolah sebagai pendidik nilai karakter bangsa sebagai
salah satu dimensi kompetensi mengenai kepala sekolah.
Pengawas,
meskipun tidak berhubungan langsung dengan proses pembelajaran kepada peserta
didik/siswa, tetapi ia dapat mendukung keberhasilan penyelenggaraan pendidikan
karakter melalui peran dan fungsi yang
diemban.
Di
sekolah, pendidik merupakan figur yang diharapkan mampu mendidik anak yang
berkarakter, berbudaya, dan bermoral. Merujuk Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional Tahun 2003 Pasal 1, semua tenaga kependididkan, baik yang
berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, tutor,
instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya,
serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan mempunyai tugas dalam
mendidik karakter.
Pendidik merupakan
teladan bagi siswa dan memiliki peran yang besar dalam pembentukan karakter
siswa. Peran pendidik sebagai pembentuk generasi muda berkarakter sesuai dengan
UU Guru dan Dosen UU No. 14 Tahun 2005, guru didefinisikan sebagai pendidik
profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengebaluasi peserta didik pada pendidikan dasar, dan
pendidikan menengah. Dalam proses transformasi melalui pendidikan formal di
sekolah, pendidik memegang peran yang sangat penting.[13]
Peran
pendidik atau guru dalam konteks pendidikan karakter dapat menjalankan lima
peran. Pertama, konservator (pemelihara) sistem nilai yang merupakan
sumber norma kedewasaan. Kedua, inovator (pengembang) sistem nilai ilmu
pengetahuan. Ketiga, transmit (penerus) sistem-sistem nilai ini kepada
peserta didik. Keempat, transformator (penerjemah) sistem-sistem nilai
ini melalui penjelmaan dalam pribadinya dan perilakunya, dalam proses interaksi
dengan sasaran didik. Kelima, organisator (penyelenggara) terciptanya
proses edukatif yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara formal maupun
moral.
Proses
pendidikan karakter ini menjadi tanggung jawab semua guru, termasuk juga guru
bimbingan dan konseling (konselor sekolah). Konselor sekolah atau guru
bimbingan dan konseling sesuai Surat Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan dan Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Nasional Nomor 25 Tahun
1993, tidak bisa lepas dari peran dan tugas yang terkait dengan pendidikan
karakter. Sebagai salah satu pihak yang berkepentingan dengan pendidikan
karakter ini, konselor sekolah harus berkomitmen untuk melaksanakan pendidikan
karakter tersebut . konselor sekolah hendaknya merancangkan dalam program
kegiatannya untuk secara efektif berpartisipasi dalam pengembangan dan
penumbuhan karakter pada siswa.
c.
Peran pemimpin dalam pendidikan
karakter.
Dalam konteks
kebersamaan, negara juga memiliki tanggung jawab moral untuk melakukan
pendidikan karakter, budaya, dan moral bangsa Indonesia. Hal ini sesuai dengan
prinsip sudah ditetapkan baik dalam UUD 1945 maupun dalam Undang-Undang
Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003. Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang
pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan
memerhatikan peningkatan iman dan taqwa, peningkatan akhlak mulia, peningkatan
potensi daerah dan lingkungan, tuntutan pembangunan daerah dan nasional,
tuntutan dunia kerja, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni,
agama, dinamika perkembangan global, dan persatuan nasional dan nilai-nilai
kebangsaan.
d.
Peran media massa dalam pendidikan
karakter.
Upaya lembaga pendidikan
dalam mendidik karakter peserta didik juga memerlukan dukungan dari institusi
media massa seperti televisi, internet, tabloid, koran, dan majalah. Media
televisi dapat menyajikan acara-acara tentang potret kehidupan dan perilaku
sehari-hari baik dalam bentuk kisah nyata maupun dramatisasi sesuai dengan
tujuan yang dikehendaki. Media televisi juga sebagai media massa yang paling
populer dan digemari oleh lapisan masyarakat, termasuk anak-anak dan remaja.
Melalui televisi, pesan dapat disajikan dalam bentuk audio visual dan gerak.
Televisi juga dapat menyajikan siaran langsung (live) atau liputan
beritadari sumbernya pada saat
bersamaan. Dengan bantuan media lain, televisi juga menyajikan acara
interaktif. Dalam pemanfaatannya, televisi dapat ditonton sambil santai di
rumah, menyaksikan siaran langsung, dramatisasi, hiburan, sinetron, hiburan,
sinetron, musik, pendidikan, dan informasi lainnya.
F.
Membentuk karakter tidak cukup dengan perintah dan larangan
Perlu dimengerti bahwa perintah dan larangan adalah
bagian sangat kecil dalam upaya pembentukan karakter. Perintah dan larangan
hanya bantuan sederhana dalam menolong anak untuk melakukan kebaikan dan
menghindari kesalahan. Hal pertama yang paling penting sesungguhnya adalah
menanamkan kesadaran kepada anak tentang pentingnya sebuah kebaikan. Sebagai
contoh kecil, anak perlu tahu mengapa ia harus membuang sampah di tempatnya.
Anak juga perlu tahu mengapa ia harus membenci sifat malas membuang sampah
sembarangan. Anak harus sadar dan paham akan hal ini, jika orang tua ingin
menanamkan membuang sampah pada tempatnya ini sebagai karakter anak.
Setelah proses penyadaran dan pemahaman berjalan, anak
dibimbing untuk melakukannya dalam tindakan nyata. Harus tertanam dalam diri
anak bahwa setiap kebaikan yang ia ketahui akan ada nilainya di hadapan Allah dan manusi jika tidak diwujudkan
dalam tindakan nyata. Apabila sebuah kebaikan sudah menyepakati bahwa hal itu
harus diwujudkan dalam tindakan nyata, orang tua harus segera mengambil langkah
untuk segera memberikan pertolongan dan dukungan kepada anak untuk
mewujudkannya. Bentuk pertolongan yang dimaksud adalah meneladankan
kebaikan-kebaikan tersebut. Anak harus diajari tentang bagaimana wujud
penghormatan kepada teman sebaya, tamu, tetangga, dan kepada setiap otrnag
ketika ia berpapasan di halaman. Demikian juga dengan cara-cara menghormati
orang lain di sekolah atau tempat bermain.
selain memeberikan pemahaman dan melatih dalam bentuk
tindakan, juga harus dilakukan instropeksi perilaku anak. Instropeksi ini
penting, karena bisa saja terjadi situasi dimana anak harus membuat keputusan
atas hal yang belum dipahamkan dan dilatihkan. Instropeksi atau muahasabah akan
menuntun kita untuk mereview setiap aktifitas yang telah dilakukan anak sealam
seharian.[14]
DAFTAR PUSTAKA
Ardy Wiyani, Novan. pendidikan karakter berbasis iman
dan taqwa ,Yogyakarta, Teras. 2012
Ma’mur Asmani, Jamal. Buku Panduan Internalisasi
Pendidikan Karakter di Sekolah, (Jogjakarta, DIVA Press. 2012
Maksudin, Pendidikan Karakter Nondikotomik,
Yogyakarta, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Munir, Abdullah .Pendidikan Karakter Membangun Karakter
Anak Sejak dari Rumah, Yogyakarta, PEDAGOGIA. 2010
Samani, Muchlas & Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan
Karakter ,Bandung, Remaja Rosdakarya. 2011
Zainur Roziqin, Muhammad.Moral
Pendidikan di Era Global,Malang, AVERROES PRESS.2007
Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan
Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan,Jakarta, Kencana. 2012
[1]Muchlas Samani
& Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter ,(Bandung, Remaja
Rosdakarya. 2011) hlm. 41
[2] Zubaedi,
Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan
( Jakarta, Kencana. 2012)
hal. 14
[3] Zubaedi,
Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan,
hal. 17
[4] Novan Ardy
Wiyani, pendidikan karakter berbasis iman dan taqwa ( Yogyakarta, Teras.
2012) hlm. 2
[5] Novan Ardy
Wiyani, pendidikan karakter berbasis iman dan taqwa, hlm. 4
[6]Muhammad
Zainur Roziqin, Moral Pendidikan di Era Global (Malang, AVERROES
PRESS.2007)
[7]Zubaedi,
Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan,
hal. 3
[8]Zubaedi,
Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan. Hlm.
5
[9] Jamal
Ma’mur Asmani, Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah, (Jogjakarta,
DIVA Press. 2012) hlm.104
[10] Jamal
Ma’mur Asmani, Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah,hlm.
109
[11] Maksudin, Pendidikan
Karakter Nondikotomik, ( Yogyakarta, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta) hlm. 154
[12]Zubaedi,
Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan hlm.145-147
[13] Zubaedi,
Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan,
hlm. 164
[14]Abdullah
Munir, Pendidikan Karakter Membangun Karakter Anak Sejak dari Rumah, (
Yogyakarta, PEDAGOGIA. 2010) hlm. 10
0 komentar:
Posting Komentar