Minggu, 06 Desember 2015

Es Teh dan Kapitalisme

doc. internet
menulis hal yang mudah namun berat dilakukan, seberat melupakan sang mantan "eh". Yah menulis butuh pembiasaan, kesabaran dan ketekunan. Berawal dari obrolan aneh yang kita lakukan di kantor kebanggaan "LPM Edukasi" bersama 3 jomblo ngenes yaitu mas Fahmi, Baihaqi dan Aam. Kita mencoba belajar semua itu, rencana aneh ini kita namai dengan "writing challange". Dengan harapan bisa istiqomah menulis. Oke... untuk tema pertama kita yaitu tentang "Teh". Tema yang tak sengaja lewat di hadapan kita, hmmmmm yang terbesit dalam pikiranku, "meh nulis opo??". Ya sudahlah ini tulisan ala kadarnya saja, semoga bermanfaat. Amin
Perkebunan teh yang hijau tiba-tiba teringat dalam pikiranku, sejuk, hijau, udara segar dan menyegarkan mata sambil menikmati secangkir teh yang hangat dengan orang terkasih. Ups... berhenti ngayal baper kan jadinya... ya kembali ke pembahasan mengenai teh, mungkin kawan-kawan sudah biasa menikmati teh baik disajikan dalam keadaan panas, dingin, atau panas dingin, lhoh...
Penikmat teh pun tidak terbatas di semua kalangan, yang tua, muda, kaya, miskin, cewek, cowok, semuanya deh terutama mahasiswa nih kalau lagi bokek pesen es teh yang harganya berkisar 1500-2000 rupiah. Tapi sadar gak sih saat ini teh dengan berbagai varian dan cara penyajiannya menjadi bahan kapitalisme, nah lhoh....
Mungkin kita biasa menemui teh yang disajikan dalam bentuk es teh yang yang murah karena belinya di kucingan  (sukanya main kucing-kucingan). Kemudian coba kita bergeser ke warung Tegal (warteg) harganya berubah lagi, cliiing... tambah mahal tentunya, ditambah ongkos buat parkir, yah
Jangan jauh-jauh deh, kalau kita sedang shopping-shopping atau sekedar cuci mata di Mall terus tiba-tiba haus. Kita beli es teh dengan kemasan gelas plastik yang tentunya harganya sudah tidak sama lagi dengan es teh yang ada di warteg. Atau teh dalam kemasan botol yang harganya juga lebih mahal. Hanya karena beda kemasannya, padahal jika gelas plastik atau botol itu diganti dengan kantong plastik pun tidak akan mengurangi kenikmatan teh.
Nah ini yang lebih parah lagi es teh original di warung makan keren yang biasa disebut restoran. Tahu berapa harganya??? menurut survey yang dilakukan oleh Agita Sunni Hidayah, mencoba beli es teh di restoran dan akhirnya kapok, harganya mencapai puluhan ribu rupiah bahkan bisa lebih mahal jika varian dan penyajiannya lebih keren.
Sebenarnya apa yang membuat harganya beda?? Tehnya? Gulanya? Airnya? Atau Esnya? Tidak. Tapi tempat dan kemasannya,hmmm
Nah dapat inspirasi untuk membuka usaha warung teh? Yuk siapkan tempat yang mewah dan glamour serta teh yang dikemas dengan gelas emas dan sendok dari batu giok. Hmmm dasar korban Kapitalis...
Hidup cerdas dengan memilih segala hal sesuai kebutuhan saja.

0 komentar:

Posting Komentar